BAB 1
Pendahuluan
Islam menyuruh umatnya mengamalkan nilai yang paling baik dari
nilai-nilai yang ada di atas muka bumi. Sebagai contoh Islam menyuruh kita
memilih pendapat yang paling baik, perbuatan yang paling baik atau dengan kata
yang lain memilih dan mendahului perkara yang paling utama atau dengan istilah
al-Qaradhawi Fiqh al-Awwaliyyat. Begitu juga dengan para sahabat
Rasulullah s.a.w seumpama Abdullah ibn Mas’ud, Abu Dzar al-Ghiffari dan
lain.-lain sering bertanya baginda tentang apakah amalan yang di nilai oleh Allah
sebagai amalan yang paling baik, paling utama dan paling disukai oleh Allah
s.w.t.
Nilai-nilai utama atau fiqh al-Awwaliyyat di atas adalah gambaran
jelas tentang kepentingan teori nilai ataupun aksiologi dalam Islam. Kerana
itulah permasalahan etika maupun estetika dalam aksiologi menjadi pembahasan
dalam karya-karya ulama dan tokoh-tokoh pemikir Islam sepanjang zaman
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam karya kitab
Miftah Dar al-Saadah.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Aksiologi
Aksiologi menurut bahasa berasal dari perkataan yunani “axios” yang
bererti bermanfaat dan “logos” berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dari sudut
istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang
ditinjau dari sudut falsafah.
Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu. Sehubungan dengan
itu Tajul Arifin menyatakan bahwa aksiologi adalah cabang falsafah yang mempertanyakan
tentang perkara baik atau buruk, benar atau salah dan perkara yang berkaitan
dengan nilai. Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan, apakah
yang baik atau bagus itu. Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu
pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai dalam kehidupan
manusia, menjaga dan membinanya di dalam keperibadian pelajar.
Pembahasan aksiologi melibatkan dua cabang falsafah yaitu etika dan
estetika. Etika memberi perhatian kepada kualitas moral dan tingkah laku
manusia. Estetika menentukan kriteria bagi kecantikan dalam kesenian,
pengalaman perseorangan, alam sekeliling dan kehidupan. Persoalan-persoalan
aksiologi secara umumnya dapat dibagikan kepada tiga yaitu; Adakah nilai itu
bersifat objektif atau subjektif, kedua, adakah nilai itu bersifat tetap atau
berubah, ketiga adakah terdapat tingkatan atau hierarki dalam nilai atau
aksiologi.
1.
Implikasi Aksiologi Terhadap Pendidikan
Pengetahuan
seseorang pelajar itu akan menjadi sempurna apabila ia dengan mudah dapat
membedakan antara nilai yang benar dan salah, baik dan buruk dalam kehidupan
mereka. Apabila daya ini telah tumbuh dan berkembang dalam jiwa anak yang
dididik, maka dia dengan sendirinya melahirkan buah yang merupakan
kebijaksanaan sebagaimana firman Allah s.w.t dalam surah al-Baqarah ayat 269
yang bermaksud:
يُؤتِي
الْحِكْمَةَ مَن يَشَاء وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ
Allah
memberikan Hikmat kebijaksanaan (ilmu yang
berguna) kepada siapa saja yang dihendakiNya, (menurut aturan yang ditentukanNya). Dan siapa saja yang diberikan Hikmat itu maka sesungguhnya
ia telah diberikan kebaikan yang banyak. Dan tiadalah yang
dapat mengambil pengajaran (dan peringatan) melainkan orang-orang yang
menggunakan akal fikirannya.
Berdasarkan hal di atas jelas menunjukkan betapa
pentingnya pengetahuan dan pembelajaran aksiologi. Guru hendaklah mendidik
murid supaya dapat berfikir dan memberikan pendapat mereka dengan bijak dan
waras. Mereka juga hendaklah diberikan pemahaman yang meluas dalam aksiologi
ini supaya mereka dapat mengamalkan moral dan nilai-nilai yang tinggi. Mereka
juga hendaklah mempunyai pendirian yang tetap dan disiplin yang kuat supaya
tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak diingini seperti mengambil
tindakan dan keputusan yang tergesa-gesa serta tidak bertanggungjawab. Hal ini
menunjukkan bahwa bagaimanapun pentingnya teori pengetahuan untuk pengajaran yang
benar, namun teori nilai ini adalah lebih penting lagi dalam pengajaran
pendidikan.
2.
Aksiologi
Islam
Pembahasan aspek aksiologi dalam Islam pada hakikatnya adalah suatu
pembahasan penting yang sangat mendasar dan juga merupakan prinsip utama dalam
pendidikan Islam itu sendiri. Dalam aspek etika umpamanya, yang mempelajari
tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, adalah prinsip utama dalam
pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi
sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam
perumusan tujuan pendidikan Islam. Bahkan Nabi Muhammad s.a.w sendiri diutus
untuk misi utama memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak
umat manusia. Manakala dalam aspek estetika yang mempelajari tentang hakekat
keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan
keperluan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha
Indah dan menyukai keindahan. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam
pengungkapan bahasa, tutur kata dan perilaku yang baik dan indah.
Kajian aksiologi yang memusatkan kepada tiga
isu pembahasan yaitu; Adakah nilai itu bersifat objektif atau subjektif; Adakah
nilai itu berubah atau pun tetap? Dan yang ketiga, Adakah nilai itu mempunyai peringkat atau
tingkatan tertentu. Aksiologi Islam mempunyai nilai dan ukuran yang tersendiri
dalam menentukan hakikat nilai tersebut. Dalam Aksiologi Islam nilai adalah
hakiki dan ia bersifat tekal dan tetap kerana sumber nilai ini adalah dari
Allah s.w.t. Manusia hanya dianggap bernilai apabila mereka hidup mengikut
kehendak dan peraturan yang ditetapkan oleh Allah s.w.t. Menurut pendekatan
Islam juga, nilai mutlak yang menjadi asas kepada semua nilai dalam kehidupan
manusia ialah keimanan kepada Allah s.w.t. Daripada nilai ini lahirnya
nilai-nilai mutlak lain yang menjadi ukuran kepada semua tindakan dan operasi
yang dijalankan oleh manusia.
Aksiologi Islam juga mempunyai prinsip tersendiri tentang konsep
hierarki atau tatanilai. Prinsip nilai dalam Islam bertolak dari konsep
keutamaan akhirat daripada dunia, atau kepentingan ilmu agama daripada ilmu
dunia. Dari segi hukum pula secara umumnya konsep tatanilai dalam Islam adalah
berasaskan prinsip Al-Ahkam al-Khamsah iaitu; Wajib/Fardhu, Sunat,
Mubah/Jaiz, Makruh dan Haram. Secara khusus pula terdapat pula tatanilai dalam
bidang tertentu seperti syariat, tasawwuf
juga nilai khusus tentang ilmu.
B.
Aksiologi
Dalam Pemikiran Pendidikan Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Dalam
kitab Miftah
Dar Al-Saadah.membahas secara komprehensif tentang nilai-nilai ilmu,
maratib ilmu ataupun hierarki ilmu, ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela,
etika dalam menuntut ilmu dan sebagainya yang merupakan pembahasan utama dalam
aspek aksiologi pendidikan.
1.
Nilai
ilmu
Ilmu menduduki posisi yang tertinggi sekali dalam pemikiran
pendidikan Ibn Qayyim. Menurut beliau hidayah dan petunjuk Allah kepada manusia
hanya dapat dapat direalisasi dan dilaksanakan melalui dua faktor utama yaitu
ilmu dan iradah (kehendak). Menurut beliau kesempurnaan seseorang manusia itu
bergantung kepada dua perkara tersebut. yaitu kemauan yang mengangkat derajatnya
dan ilmu yang menerangi jalannya. Perbedaan Derajat kebahagiaan dan
keberuntungan manusia adalah berasaskan kepada dua perkara tersebut. Puncak kebahagiaan
seseorang manusia itu pada hakikatnya ialah ketika keinginannya menuju pada
sesuatu yang abadi yaitu Allah yang maha hidup. Dan keinginan ini tidak dapat
diketahui dan direalisasikan kecuali dengan ilmu dan kehendak (iradat).
Dalam membicarakan tentang nilai ilmu dan kepentingannya Ibn Qayyim
juga beranggapan tentang betapa tidak bernilainya orang yang jauh dari aktivitas
intelektual dan ilmu. Dalam beberapa tempat Ibn Qayyim mengumpamakan orang yang
malas menuntut ilmu ataupun diistilahkan sebagai golongan jahil, bodoh dan
munafik seperti; Mayat yang hidup;
Menurut Ibn Qayyim orang bodoh atau tidak berilmu, meskipun hidup
di tengah manusia namun hakikatnya mereka telah mati sepertimana diungkapkan
dalam syair berikut:
وفي الجهل
قبل الموت موت لأهله ... واجسامهم قبل القبور قبور
وارواحهم
في وحشة من جسومهم ... وليس لهم حتى النشور نشور
Maksudnya:
Kebodohan adalah kematian bagi si bodoh sebelum ia mati dan tubuh
mereka adalah kubur sebelum dikuburkan. Sedangkan roh mereka merasa terasing
dari tubuh-tubuhnya mereka tidak punya tempat kembali hingga hari kebangkitan.
Orang berilmu seperti imam-imam hadis, fiqh dan lain-lain menurut
beliau sentiasa hidup di tengah-tengah manusia sekalipun jasad mereka telah
ditelan bumi. Para ulama itu tiada henti-hentinya dikenang, dibicara dan
dipuji. Hakikatnya inilah sebenarnya kehidupan seperti yang diungkapkan oleh
penyair :
وما دام
ذكر العبد بالفضل باقيا ... فذلك حى وهو في الترب هالك
Maksudnya:Selama
kebaikan seorang hamba terus dikenang dia tetap hidup walaupun badannya hancur
di perut bumi.
Ibn Qayyim juga menyamakan golongan yang tidak mau menuntut ilmu
khususnya ilmu fardhu ain sebagai al-hamaj yaitu lalat kecil seperti
nyamuk yang melekat pada binatang seperti kambing, lembu dan sebagainya.
Manusia bodoh dan dungu ini diumpamakan seperti al hamaj karena mereka tidak
mempunyai pendirian karena ketiadaan ilmu. Mereka akan mengikuti setiap orang
yang memanggil tanpa peduli mereka diajak kepada petunjuk atau kesesatan.
Hati orang mukmin dan berilmu mempunyai mata hati yang bersinar
terang karena mendapat petunjuk dan cahaya dari Allah s.w.t. Ibn Qayyim juga
menyifatkan hati mereka lebih kukuh dan lebih kuat dari gunung:
تزول الجبال الراسيات وقلبه ...
على العهد لا يلوى ولا يتغير
Maksudnya;
Gunung yang kukuh boleh hilang tetapi hati mukmin itu konsisten
dengan janji, tidak bengkok dan tidak berubah.
Dengan kekukuhan dan kekuatan ini diri mereka tidak mudah
terpengaruh dengan kebatilan dan syubhah yang berlaku dalam masyarakat
sekalipun kebatilan dan syubhah itu dibungkus dengan baju kebenaran.
C.
Corak Pemikiran
Pendidikan Ibnu Qayyim
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Makna tarbiyah menurut
Ibnu Qayyim, terlihat dari komentar beliau tentang kata Rabbani yang
ditafsirkan dengan makna tarbiyah. Kata Rabbani diartikan dengan makna yang
seperti itu dikarenakan ia adalah pecahan dari kata kerja (fi’il)
Rabba-Yarubbu-Rabban yang artinya adalah seorang pendidik (perawat), yaitu
orang yang merawat ilmunya sendiri agar menjadi sempurna, sebagaimana orang
yang mempunyai harta merawat hartanya sendiri agar bertambah, dan merawat
manusia dengan ilmu tersebut sebagaimana seorang bapak merawat anak-anaknya.
Berdasarkan makna
tarbiyah secara etimologi di atas, Ibnu Qayyim mendefinisikan tarbiyah sebagai
suatu usaha dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dilakukan pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama
taat kepada Allah, berbudi pekerti mulia, berilmu tinggi dan kesehatan jasmani
dan rohani.
Pendidikan menurut
beliau terdiri dari empat unsur yaitu, pertama, memelihara dan menjaga fitrah
anak, menuju jalan Allah.
Kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan, ketiga, mendidik
akhlak, keempat, mendidik jasmani dan rohani sekaligus. Jika kita perhatikan
secara seksama, maka makna tarbiyah secara terminologi menurut Ibnu Qayyim
memiliki koherensi/persamaan dengan makna tarbiyah secara etimologi. Dan tidak
pula jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh sebagian pendapat para pakar
pendidikan Islam, termasuk oleh Al-Ghazali. (lihat, Abdul Matin dan Salim
Rusydi Cahyono (2009: 281).
Menurut Hasan bin Ali
Hasan Al-Hijazy (2001: 77). Definisi tarbiyah yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah ini mencakup dua makna, yaitu: pertama, tarbiyah yang berkaitan
dengan ilmu seorang murabbi, yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang
murabbi terhadap ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam
dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut terus bertambah. Tarbiyah
seperti ini diibaratkan sebagai seorang yang berharta merawat hartanya agar
menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan dengan orang lain, yakni
kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi dalam mendidik manusia
dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan ketekunannya menyertai mereka agar
mereka menguasai ilmu yang diberikan kepadanya secara bertahap. Tarbiyah
seperti ini diibaratkan seperti orang tua yang mendidik dan merawat
anak-anaknya.
Tarbiyah mencakup
tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Dan beliau
menjelaskan kaifiyah (cara) mentarbiyah hati dan badan tersebut. Beliau berkata
“Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan kepada tarbiyah. Keduanya harus
ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna
dan lebih baik dari sebelumnya.”
Simpulan dari makna
tarbiyah di atas adalah Ibnu Qayyim memaknai sebagai proses mengajarkan ilmu
dan mendidik manusia yang meliputi pendidikan hati (baca: pendidikan karakter)
dan pendidikan yang bersifat jasmaniah (fisik) yang diibaratkan seperti orang
tua mendidik dan merawat anak-anaknya atau seseorang yang merawat hartanya agar
menjadi berkembang. Artinya pendidikan adalah sebuah proses yang mempunyai goal
setting menjadikan manusia yang memanusiakan manusia dan mampu mengembangkan
ilmunya.
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Dalam pandangan
Ibnu Qayyim Rahimahullah bahwa tujuan tarbiyah yang utama adalah menjaga
(kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam
penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah
Ta’ala. Yang demikian itu dikarenakan bahwa Allah Ta’ala tidak menciptakan
hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
Tujuan pendidikan
menurut Ibnu Qayyim jika dibandingkan dengan Al-Ghazali memiliki beberapa
kesamaan: Pertama, tujuan pendidikan mereka bersifat religius dan moral,
mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana taqarrub (ibadah)
kepada Allah dan akhlak al-karimah merupakan tujuan yang paling penting dalam
pendidikan. Kedua, tujuan pendidikan mereka memiliki koherensi dengan tujuan
penciptaan manusia dan tujuan pencarian ilmu yaitu ibadah, penghambaan kepada
Allah. Ketiga, tujuan pendidikan mereka bersifat terpadu dan holistik,
mengembangkan fitrah anak baik aspek ruhani maupun jasmani, akal dan kalbu
secara dinamis agar mampu mengemban tugas sebagai khalifatullah, mengantarkan
anak pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
3.
Pokok-pokok (Materi) Pendidikan
Islam
Ibnu Qayyim
mengajak kepada para orang tua dan guru untuk menfokuskan pendidikan anak pada
beberapa aspek. Aspek-aspek pendidikan anak yang menjadi perhatian Ibnu Qayyim
meliputi Tarbiyah Imaniyah (Pendidikan Keimanan); Tarbiyah Ruhiyah (Pendidikan
Ruh); Tarbiyah Fikriyah (Pendidikan Akal); Tarbiyah ‘Athifiyah (Pendidikan
Perasaan). Tarbiyah Khuluqiyah (Pendidikan Akhlak); Tarbiyah Ijtima’iyah
(Pendidikan Kemasyarakatan); Tarbiyah Iradah (Pendidikan Kehendak); Tarbiyah
Badaniyah (Pendidikan Jasmani); Tarbiyah Riyadhah (Pendidikan olah raga);
Tarbiyah Jinsiyah (Pendidikan seks).
Dari beberapa
aspek di atas, penulis rangkum menjadi 5 pokok aspek besar yaitu:
1)
Pendidikan Iman (Tarbiyah
Imaniyyah) Tarbiyah imaniyyah itu ialah sejumlah kegiatan dan pekerjaan yang
dilakukan oleh murabbi terhadap anak didiknya dalam menjaga iman mereka,
meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Hal ini berdasarkan pernyataan
Ibnu Qayyim dalam kitab Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan adalah “Hati dan
badan manusia sangat butuh kepada pendidikan agar keduanya mampu berkembang dan
bertambah hingga meraih kesempurnaan dan kebaikan.”
Pendidikan iman
adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti,
membiasakannya dengan rukun islam sejak ia memahami dan mengajarkan kepadanya
dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz. Kewajiban pendidik adalah menumbuhkan
anak atas dasar pemahaman diatas, berupa dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran
islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan islam, baik
akidah maupun ibadah, dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal
penerapan metode maupun peraturan.
2)
Pendidikan Moral (Tarbiyah
Ruhiyyah-Khuluqiyyah)
Kebutuhan yang paling mendesak adalah pemenuhan pada pembimbingan akhlak dan
budi pekerti. Dengan pernyataan ini Ibnu Qayyim seakan menegaskan bahwa
pendidikan memiliki peran yang sangat besar dan pengaruh yang kuat dalam
pembinaan akhlak seorang anak. Karena pendidikan iman yaitu membuat anak untuk
terbiasa untuk ditanamkan akhlak yang mulia pada dirinya,sedangkan penyimpangan
dan perilaku yang terjadi pada diri anak dikarenakan lemahnya pendidikan akhlak
yang seharusnya diberikan pada awal masa kanak-kanak.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
berkata, “Sebagian dari apa yang dibutuhkan anak adalah kebutuhan mereka untuk
mendapatkan ketenangan ketika di ajarkan pada mereka akhlak. Akhlak tersebut
akan tumbuh dari kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. ketika sang anak masih
kecil maka jauhkan dari kekerasan, marah,keras hati, tergesa-gesa, tidak punya
pendirian, sering lupa, berkelompok, bersedih Maka sulit baginya ketika dia
besar menghilangkan hal tersebut, akhlak ini menjadi sifat dan tingkah yang
kotor baginya, walaupun pemeliharaan sikap itu bertujuan untuk memelihara yang
benar-benar maka kemudian akan jelas baginya di lain hari, karena hal ini maka
mayoritas manusia yang kamu tahu rusak akhlaknya dan yang demikian sebelum ada
pendidikan yang ditumbuhkan padanya.”
Melihat pendapat
Ibnu Qayyim, bahwa usia kanak-kanak sangatlah peka terhadap hal-hal yang
diperbuat oleh orang lain. Ia senang meniru dan mencontoh apa saja yang
didengar dan dilihatnya terutama apa yang telah menjadi kebiasaan. Sedangkan
akhlak sangat erat kaintannya dengan kebiasaan dan perilaku keseharian,
sehingga orang tua perlu bertindak ekstra hati-hati untuk dapat mengeset pola
sikap dan pergaulan dalam lingkungan anak usia dini. Pembentukan kepribadian
anak terjadi melalui seluruh pengalaman hidupnya, dengan bantuan panca indera
sebagai alat pelapor yang amat peka dan jujur. Apabila diterima itu baik, indah
dan menyenangkan, maka menjadi pengalaman yang menentramkan batinnya.
Tujuan tarbiyah
ini menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, adalah
merealisasikan ubudiyah kepada Allah yang menjadi sebab utama bagi kebahagiaan
manusia, yang karenanya Allah menciptakan manusia, memuliakan dan menjadikannya
khalifah di muka bumi. Tiada kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi
manusiakecuali dengan menjauhkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri
dengan akhlak yang utama, sesungguhnya orang yang mengotori dirinya dengan
akhlak yang tercela dan rusak, sungguh dia telah membuang kebahagiaan dunia dan
akhiratnya.
3)
Pendidikan Fisik (Tarbiyah
Badaniyah)
Tarbiyah badaniyyah yaitu usaha dalam
mentarbiyah badan dengan memberi gizi, pengobatan dan olah raga. Gizi harus
diperhatikan macam dan jumlah yang dibutuhkan dan pengobatan bisa terjadi dari
gizi yang diberikan atau dengan obat yang berdosis sedang, kemudian dengan yang
berukuran tinggi, tetapi yang paling baik adalah yang pertama; yaitu dengan
gizi, sedang yang paling berbahaya adalah yang ketiga yaitu obat yang berdosis
tinggi. Olah raga adalah sarana yangtepat dalam tarbiyah badaniyyah, tetapi
dengan syarat harus jauh dari unsur berlebih-lebihan, dan hendaknya dilakukan
di waktu yang sesuai dengan badan dan kondisinya dan perlu diketahui bahwa
olahraga adalah sarana untuk taat kepada Allah, jadi buka tujuan utama.
Muzaidi Hasbullah, mengatakan bahwa,
Ibnu Qayyim memberikan penjelasan adalah pendidikan fisik ini perlu
diperhatikan adalah (1) Orang yang melakukan olah raga harus dalam keadaan
bersyukur kepada Allah. (2) Penuh ketenangan dan ketentraman. (3) Memiliki
akhlak Islami yang utama. (4) Selalu memohon taufik dan kebenaran dalam setiap
aktivitasnya. (5) Tidak mendendam, menghina dan menertawakan lawan mainnya.
Aspek fisik yang banyak diperhatikan
oleh Ibnu Qayyim Al-jauziyah dan hendak diwujudkan dalam upaya memeliharan
kesehatan anak adalah dengan memperhatikan pola makan dan minum anak dan
mengawasinya untuk tidak kekurangan dan kelebihan dalam hal aktivitas dan
kuantitas. Ibnu Qayyim dalam Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud , telah
mengatakan:
“Anak harus dihindarkan dari cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang
berlebihan, hal itu demi menjaga terbentuknya pencernaan dan keteraturan cara
kerjanya, yang sudah diketahui bahwa sehatnya badan itu tergantung pada
tepatnya dan teraturnya kerja pencernaan. Dengan tidak terlalu banyak
mengkonsumsi makanan dan minuman akan mengurangi penyakit, karena tubuh tidak
terdapat timbunan sisa-sisa makanan.”
4)
Pendidikan Sosial (Tarbiyah
Ijtimaiyyah)
Pendidikan sosial, adalah mendidik
anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosialyang utama,
dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber pada akidah islamiyah yang kekal
dan kesadaran iman yang mendalam, agar di tengah-tengah masyarakat nanti ia
mampu bergaul dan berprilaku sosial baik, memiliki keseimbangan akal yang
matang dan tindakan yang bijaksana Ibnu Qayyim berkata : Menjauhkan anak dari
sikap bohong, khianat yang merupakan sebesar-besarnya hal yang bisa menjauhkan
dia dari ilmu yang manfaat, kapanpun itu mudah dengan jalan bohong, khianat
yang bisa merusak kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tarbiyah ini bertujuan membangun
hubungan yang kuat antara individu sebuah masyarakat dengan menerapkan sebuah
ikatan yang terbangun di atas kecintaan sebagai realisasi sabda Nabi Saw.yang
berbunyi,
لاَيُؤْمِنُ
أَحَدَ كُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
“Tidaklah sempurna iman salah seorang
di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sbagaimana mencintai dirinya
sendiri.” (Hadits Shahih diriwayatkan Bukhari)
5)
Pendidikan Intelektual (Tarbiyah
Fikriyah)
Akal adalah alat yang menggerakkan
badan dan seluruh anggota tubuh dan yang menentukan baik dan rusaknya badan,
jika ia baik maka baiklah seluruh badan tetapi jika rusak maka rusaklah seluruh
badan. Ibnu Qayyim mengatakan, “Akal adalah raja, sedang ruh, panca indera dan
seluruh anggota badan adalah sebagai rakyatnya. Jika akal rusak maka
kehancuranlah yang akan dirasakan oleh seluruh rakyatnya”
Sedangkan yang dimaksud dengan
pendidikan intelektual adalah mengerahkan daya dan kemampuan untuk
mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala
berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh murabbi dengan mentarbiyah orang
lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiridalam rangka
mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala
berpikirnya.
4.
Metode Pendidikan Islam
Ibnu Qayyim menganjurkan metode pendidikan
anak yang beragam, sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Metode keteladan
bagi pembentukan prilaku anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat
mulia pada diri mereka. Ibnu Qayyim mendorong agar para orang tua dan pendidik,
menjadikan dirinya orang yang istiqamah dan kokoh dalam perilaku akhlaknya,
agar mereka mampu mendidik anak-anaknya dengan lisan hal (qudwah) sebelum
mendidik dengan kata-kata. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil
Maulud). Ibnu Qayyim juga menekankan tentang penggunaan metode pelatihan dan
pembiasaan. Ibnu Qayyim menegaskan bahwa sedari kecil anak harus dilatih dan
dibiasakan untuk mengerjakan berbagai hal yang bermanfaat baginya, agar ketika
dewasa, apa yang sering dilakukannya menjadi sebuah kebiasan yang tidak bisa
ditingalkan.
Disamping itu, Ibnu Qayyim merekomendasikan penggunaan metode learning by doing
a good thing. Mengaktifkan dan menyertakan anak dalam berbuat baik,vseorang
anak hendaknya diaktifkan dalam perbuatan-perbuatan baik sehingga akhlak yang
utama menjadi sesuatu yang dicintainya. Ibnu Qayyim sepakat untuk tidak
merekomendisikan penggunaan metode perdebatan dalam mendidik anak.
Masih banyak lagi metode yang digunakan oleh Ibnu Qayyim seperti metode:
hafalan pemberian contoh/misal hiwar, tanya jawab, hafalan, pemberian misal,
cerita/kisah, nasihat, ganjaran dan hukuman, dan lain-lain. Penggunaan metode
harus diselaraskan dengan tahapan perkembangan, tingkat kecerdasan, bakat dan
pembawaan anak, dan tujuannya pendidikan dan karakteristik materi.
BAB 3
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Qayyim dalam kitab Miftah Dar
al-Saadah telah meninggalkan warisan pemikiran dan falsafah pendidikan yang
amat berwibawa dan bercorak teoritis. Asas-asas aksiologi dalam pemikiran
pendidikan beliau seperti nilai ilmu, hierarki ilmu, dalam perbincangan di atas
ternyata amat releven dalam menyelesaikan masalah pendidikan umat. khususnya
dalam menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia
dan menjaganya, membinanya di dalam keperibadian pelajar. Namun demikian pembahasan
di atas hanya sebagian saja dari pemikiran pendidikan beliau yang amat
komprehensif khususnya dalam aspek aksiologi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Ighasatul
Lahfan min Mashidis Syaithan, Kairo : Daar Ibnul Jauzi, 1320 H, Jilid 1.